Kabupten Sambas memiliki banyak sekali situs budaya yang dapat dijadikan sebagai cagar budaya. Beberapa diantaranya yang dimasukan dalam Cagar Budaya Indonesia adalah kompleks Istana Alwatzikhoebillah dan Masjid Jami Sultan Muhammad Tsafioedin II yang berada di Jalan 
Istana, Desa Dalam Kaum Sambas Kalimantan Barat.
Istana Alwatzikhoebillah (sumber foto : ciwir.blogspot.com)

Kedua situs budaya ini masih mampu 
bercerita tentang kejayaan kerajaan Sultaniyah Sambas pada zaman dahulu.
Sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya

Istana Alwaztikhoebillh atau dikenal Keraton Sambas menyimpan banyak sejarah untuk kita 
ketahui. seperti benda pusaka peninggalan sultan bahkan benda pusaka peninggalan raja zaman 
Kerajaan Sambas yang bercorak Hindu yaitu Ratu Sepudak. Selain itu, istana ini juga menjadi 
saksi peristiwa terbunuhnya pahlawan Sambas, Tabrani Ahmad di halaman istana, saat melawan 
pasukan Belanda. 


Istana Alwatzikhoebillah pertama kali dibangun pada masa pemerintahan sultan kedua dalam 
sejarah Kerajaan Islam Sambas yaitu Muhammad Tadjuddin yang berkuasa pada tahun 1668-
1708. Kemudian, Istana Alwatzikhoebillah dibangun kembali oleh Sultan Muhammad Mulia 
Ibrahim Syafiudin pada 3 September 1931. Selanjutnya pada tahun 1985 melalui Departemen 
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalbar, pemerintah melakukan pemugran terhadap 
Keraton Sambas.

Gapura Pertama


Sebelum memasuki kompleks Istana Alwatzikhoebillah, pengunjung akan melihat gapura 
pertama yang berdiri kokoh tepat di pinggir jalan raya dan menghadap ke sungai. Selanjutnya 
setelah melewati gapura, kita akan melihat alun-alun istana dengan tiang bendera yang disangga 
oleh tiga tiang. Tiang bendera dengan tiga tiang peyangga melambangkan bahwa dalam 
menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh wazir (abdi dalem kerajaan). Kemudian 
terdapat tiga meriam yang disangga oleh tiang penyangga. Tiga meriam tersebut melambangkan 
tiga buah sungai yang berada di depan istana yaitu Sungai Sambas Kecil, Sungai Subah dan 
Sungai Teberau yang harus dijaga kelastariannya. 
Gapura kedua 

Di sebelah kanan alun-alun pula terdapat masjid Jami Sultan Muhammad Tsafiodin II yang 
dibangun pada tahun 1883. Sebelum memasuki istana utama, terdapat pendopo di sebelah kiri 
dan kanan yang digunakan untuk tamu dan pertunjukan seni kala itu. Selanjutnya terdapat pula 
gapura kedua yang bertingkat dan menghadap ke sungai. Gapura ini dulunya digunakan untuk 
prajurit berjaga-jaga pada masa itu. 


Setelah melewati gapura kedua, kita akan melihat tiga buah istana. Istana utama bertuliskan 
Alwatzikhoebillah yang memiliki arti berpegang teguh dengan tali Allah. Pada istana utama ini 
kita dapat melihat simbol seperti bintang yang berjumlah tiga belas dengan angka 9 di 
tengahnya. Bintang tiga belas memiliki arti bahwa pembangunan istana ini dilakukan oleh cucu 
dari sultan ke-13. Sementara angka 9 melambangkan bahwa sultan yang membangun kembali 
istana ini adalah keturunan ke Sembilan dari garis keturunan sultan pertama. Selain itu kita juga akan melihat lambang burung elang laut yang bearti bahwa kerajaan Islam Sambas pernah 
memiliki armada laut yang Berjaya pada masa itu.
Elang Laut

Menurut sejarawan burung elang laut yang terdapat di simbol Istana Alawatzikhoebillah adalah Burung Elang Laut Dada Putih. Elang Laut menggambarkan kekuatan Pangeran Anom (Sultan 
Muhammad Ali Tsafioedin I) yang dikenal gesit, cepat dan bijaksana. Simbol Elang Laut ini 
dibuat oleh Pangeran Anom dalam bentuk seperti seekor naga dalam versi asia. Simbol tersebut 
menjelaskan bahwa sang pangeran seperti kuda yang berlari kencang di laut dan menerkam 
layaknya burung elang. Simbol Elang Laut pada Istana Alwatzikhoebillah sudah dibuat oleh 
Pangeran Anom sejak ia masih bergelar Raden (Belum diangkat menjadi Sultan). Simbol 
tersebut juga sudah dipasang di kapalnya yang bernama kapal Keruis atau kapal induk. sejak ia 
menjadi sultan di Kesultanan Sambas, simbol tersebut mulai dijadikan simbol istana 
Alwatzikhoebillah, dan masih digunakan hingga saat ini.


Setelah melihat simbol dan mengetahui makna filosofi yang terkandung di dalamnya, saatnya kita 
melihat arsitektur Keraton Sambas. Dari luar sebelum memasuki istana, kita bisa melihat warna 
istana dengan kuning ke emasan yang merupakan ciri khas dari suku melayu. Atapnya yang 
terbuat dari kayu dengan berlantaikan papan dan tiang kayu ini megah berdiri dan menyimpan 
banyak peninggalan kerajaan Islam Sambas. Beberapa diantaranya dapat dilihat berupa foto 
keluarga dan silsilah sultan, tempat tidur, sepatu, teko bertuliskan bahasa Belanda, serta baju 
yang digunakan sultan pada masa itu. Semua peninggalan itu masih terjaga rapi dan terawat baik.
Menyimpan foto Sultan dan silsilahnya

Selanjutnya di pavilion sebelah kanan pula merupakan ruangan yang digunakan untuk memasak. 
Sedangkan di pavilion sebelah kiri menyimpan berbagai barang pusaka zaman kerajaan Islam 
Sambas. Diantaranya keris yang gagangnya terbuat dari tanduk hewan dan bertahtakan batu 
zambrud serta delima. Ada pula payung ubur-ubur, payung keemasan, gendang, nobat, nekara, 
kromong, serunai nafiri, gambang, gong, tombak, tempat duduk raja yang merupakan hadiah 
dari Sultan Brunei pada zaman dahulu. 

Menarik untuk diketahui bahwa tempat duduk sultan digunakan ketika sultan akan 
mendengarkan keluhan rakyat. Pada zaman itu, istilah duduk sama rendah berdiri sama tinggi 
benar-benar diterapkan oleh sultan, sehingga ketika rakyat datang dan mengadu kepada sultan, 
sultan tidak duduk di singgahsananya melainkan duduk bersama rakyatnya dengan bearalaskan 
karpet yang merupakan hadiah dari sultan Brunei itu.

Selanjutnya ada pula barang peninggalan berupa alat-alat kebesaran kerajaan yang diwariskan 
oleh Ratu Sepudak (Raja Kerajaan Sambas yang bercorak Hindu) yang terdiri dari sebuah 
meriam kecil berbentuk pendek dan gemuk. Uniknya meriam ini memiliki nama yaitu Raden 
Mas. Selain meriam yang bernama Raden Mas, ada enam meriam kecil lainnya yang memiliki 
nama; Raden Putri, Raden Sambir, Raden Fajar, Ratu Kilat, Pangeran Padjajaran dan Panglima 
Guntur. Semua meriam yang memiliki nama tersebut dikenal dengan nama Meriam Beranak.

Konon meriam yang awalnya berjumlah tiga ini berkembang satu persatu hingga menjadi tujuh 
buah inilah yang menjadikannya sebagai Meriam Beranak dan sangat terkenal di kalangan 
masyarakat kabupaten Sambas.
Semua barang peninggalan kerajaan Islam Sambas tersebut masih terjaga rapi di dalam lemari 
kaca dan etalase di pavilion sebelah kiri istana utama Alwatzikhoebillah. Pengunjung dapat 
melihatnya dengan meminta izin kepada Ibu Sumariyati yang merupakan juru kunci istana 
sekaligus cucu dari Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin.

Untuk melihat barang peninggalan tersebut beberapa peraturan harus dipatuhi yaitu tidak boleh 
memotret atau memvideokan barang peninggalan yang dianggap keramat. Selain itu, wanita 
yang berhalangan atau sedang haid tidak diperkenankan untuk memasuki ruangan atau melihat 
peninggalan kerajaan yang berada di favilion sebelah kiri istana utama.

Masjid Jami Sultan Muhammad Tsafioedin II (sumber foto: infopromo.com)

Setelah kita melihat isi dalam istana Alwatzikhoebillah dan favilionnya, sayang jika melewatkan 
bangunan bersejarah lainnya yaitu Masjid Jami Sultan Muhammad Tsafioedin II. Pembangunan 
masjid ini pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali Tsafioedin I 
(Pangeran Anom) yang diberi nama Masjid Jami atau Masjid Jami Pangeran Anom. 
Masjid tersebut memiliki ukuran bangunan yang tidak terlalu besar. Pembangunan kedua
dilakukan setelah Islam semakin berkembang pesat dan ukuran bangunan lebih besar dari 
sebelumnya. Pembangunan kedua ini dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad 
Tsafioedin II dengan nama Masjid Jami Sultan Muhammad Tsafioedin II. Masjid ini adalah satu 
diantara masjid tertua di Kalimantan Barat.
Serupa dengan istana yang menyimpan banyak sejarah dan filosofi, begitu juga dengan masjid 
ini. Di mulai dari warna dinding pada masjid yang kuning keemasan dengan bentuk atap taju 
bertingkat menyerupai atap masjid Demak.
Delapan tiang penyangga berbahan kayu belian (infopromo.com)

Masjid yang memiliki dua lantai ini, menggunakan 
bahan kayu belian sebagai tiang penyangganya dan lantainya. Tiang penyangganya yang terdiri 
dari 8 buah juga memiliki arti dan simbolik dari Sultan Muhammad Tsafioedin II beserta Sultan 
yang memerintah di Kesultanan Sambas. Makna delapan tiang penyangga adalah pendirinya 
adalah keturunan ke delapan atau sultan ke-13 garis keturunan kesultanan Sambas.

Kendi Raksasa (credit: infopromo.com)

Di dalam masjid kita akan melihat kendi raksasa yang digunakan untuk menampung air wudhu 
pada masa itu. Kendi raksasa tersebut merupakan hadiah dari Sultan Muhyidin (Sultan Brunei) 
kepada Sultan Muhammad Tajuddin atas pelantikannya Sebagai Sultan Anom (Gelar yang 
diberikan oleh Sultan Muhyidin ketika Sultan Muhammad Tajudin mengunjungi sanak 
saudaranya di Brunei).

Selanjutnya ada juga mimbar antik dengan ukiran berwarna emas yang 
diberikan oleh para pelaut dan pedagang yang berasal dari Palembang.
Selain barang-barang bersejarah yang masih tersimpan rapi dan terawat dengan baik, di dalam 
masjid ini terdapat pula perpustakaan mini yang dapat digunakan oleh Jemaah untuk membaca serta menambah ilmu pengetahuan. sehingga masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat 
ibadah melainkan juga tempat menimba ilmu melalui membaca.
istana Alwatzikhoebillah dan masjid jami Sultan Muhammad Tsafioedin II adalah saksi kejayaan 
kerajaan Islam sambas pada zaman dahulu. kedua situs cagar budaya Indonesia ini masih kokoh 
berdiri dan terjaga dengan baik.


Untuk istana Alwatzikhoebillah sendiri saat ini ditempati oleh pewaris tahta kerajaan Sambas 
yaitu Pangeran Ratu Muhammad Tarhan. Beliau adalah anak dari Pangeran Ratu H. Wiranata 
Kesuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Mulia Ibraham Syafiudin. 
Meskipun ditempati oleh pewaris kerajaan beserta keluarganya, istana ini tetap terbuka untuk 
umum dan pengunjung dapat melihat barang peninggalan kerajaan serta belajar sejarah darinya. 

Sementara masjid Jami Sultan Muhammad Tsafioedin II menjadi masjid yang sering didatangi 
Jemaah untuk melakukan ibadah baik itu shalat fardu lima waktu, Jumat hingga shalat Id. Masjid 
ini mampu menampung kurang lebih 1000 jemaah.

Keberadaan Istana Alwatzikhoebillah dan Masjid Jamik Sultan Muhammad Tsafioedin II sebagai Cagar Budaya Indonesia perlu mendapat kerjasama dari semua pihak, tidak hanya pemerintah, keluarga sultan maupun masyarakat kabupaten Sambas serta pengunjung. Pemugaran yang dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalbar pada tahun 1985 menunjukan bahwa usaha pemerintah untuk memelihara warisan budaya telah dilakukan. Selanjutnya adalah upaya pengunjung untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar area Cagar Budaya ini agar tidak kotor serta ikut berpartisipasi untuk mematuhi peraturan saat mengunjungi cagar budaya ini seperti larangan untuk tidak duduk di kasur Sultan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Cagar Budaya: Rawat Atau Musnah!
Yuk kita ramaikan lomba ini agar cagar budaya Indonesia semakin dikenal oleh masyarakat luas.




Video Eklusif: Waktu berkunjung ke Istana Alwatzikhoebillah

Share on :

0 Responses to Mengenal Istana Alwatzkhioebillah dan Masjid Jamik Sultan Muhammas Tsafioedin II Sebagai Cagar Budaya Indonesia

.......................................